PENGHAYATAN EKSISTENSI FILOSOFIS SIFAT TUHAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Zaenal Arifin, M.Ag
Disusun Oleh :
1. Faqih Hilal Mukarrom (212100)
SEKOLAH TINGGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH / EI
2012/2013
I. PENDAHULUAN
Allah yang mewujudkan alam semesta mempunyai sifat-sifat yang baik dan
luhur. sifat-sifat ini merupakan bagian dari petunjuk kesempurnaan
Rububiyah dan Uluhiyah.Sifat-sifat itu hanya Allah yang memiliki.Tak
satupun yang dapat menyekutui-Nya. Allah maha esa dan sebagai penguasa
dan Tuhan.Oleh karena itu,tak ada penguasa Tuhan kecuali Dia (Allah).
Akidah islam telah menjelaskan kepada kita dalam Al-Qur’an tentang
sifat-sifat Allah yang mutlak melekat pada-Nya,karena kesempurnaan
Nya,yaitu seperti sifat-sifat sebagai
berikut:al-ilm,al-hayah,al-bashar,al-kalam,dan sebagainya.sifat-sifat
Allah itu sendiri terlalu Agung untuk di hitung,yang pada hakikatnya
berada di atas jangkauan akal manusia.
Meskipun Al-Qur’an telah menjelaskan kepada kita sebagian dari
sifat-sifat Allah,namun Al-Quran tidak menjelaskan seluruh
sifat-sifat-Nya.Sebagaimana Al-Qur’an adalah kalam-kalam Allah,tetapi ia
tidak mencakup seluruh kalimatnya.Yang jelas,Allah memiliki sifat-sifat
yang berkaitan dengan sesuatu selain berbagai alam dan makhluk-Nya,dan
kita tidak mungkin bisa mengetahui semuanya.Bertolak dari sini,kita
hanya berbicara tentang sesuatu yang mungkin kita fahami sebatas
kemampuan akal kita.
Dengan demikian, Al-Qur’an telah menyebutkan sifat-sifat Allah yang paling penting yang harus diketahui oleh setiap muslim.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah latar belakang munculnya penghayatan eksistensial filosofis sifat Tuhan?
2. Bagaimanakah hakikat penghayatan eksistensial filosofis sifat Tuhan?
3. Bukti tentang eksistensi Allah?
4. Mengenai keterbatasan penghayatan eksistensial filosofis sifat Tuhan?
III.PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Munculnya Penghayatan Eksistensial Filosofis Sifat Tuhan
Sebagian besar argumen filosofis telah di gunakan menetapkan wujud
yang di kenal sebagai wajibul wujud.Dengan adanya argumen-argumen
tersebut, kita mengenal Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya yang khas
yang menbedakan dzat-Nya dari makhluk-makhluk-Nya.Dan jika sekadar
menetapkan bahwa Tuhan itu wajibul wujud,tanpa memandang
sifat-sifat-Nya,maka tidaklah memadai bagi kita untuk mengenal dia
(Tuhan) sebagaimana mestinya.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pertama kali Nabi Muhammad
di utus Allah adalah untuk menanamkan keyakinan atas keberadaan
Allah.Karakter penanaman yang di tuntunkan Nabi bukan lah berbentuk
renungan dan bersifat konseptual tidak pula bersifat doktriner dan
normatif melainkan lebih bersifat tuntunan praktis,yaitu merespon
keberadaan Allah agar berpengaruh positif terhadap pembentukan nilai
sikap dan pembangunan perilaku. Yang terbukti pada perjalanan sejarah
Nabi yang mampu mengentaskan problema masyarakat arab dari ke
jahiliyahan menuju suatu tutunan masyarakat yang bertauhid,religius
islami dan lebih humanis.
Kemudian sepeninggal Nabi lama kelamaan model hidup yang di tanamkan
Nabi mulai terkikis, padahal kita tahu bahwa problema yang di hadapi
umat islam terus berkembang. Terlebih-lebih semakin bertambahnya
kuantitas pemeluk islam yang baru yang berasal dari berbagai wilayah
dengan membawa latar belakang sosial budaya yang beraneka ragam.
Meluasnya jaringan islam dan banyaknya umat islam, terutama dari
Mesir,Irak,Syiria dan daerah-daerah Timur lainnya menjadi momentum
terbukanya kontak arab dengan tradisi dan pola pikir
filosofis-rasionalistik-spekulaktif yunani.
Dari kontak pertama islam dengan tradisi yunani pada akhirnya membawa
pada komunikasi yang lebih mendalam antar kedua nya dan puncaknya pada
masa al-Makmun, salah satu khalifah terkemuka abbasiyah di era 813-83,
yang mendirikan sebuah institusi yang bernama Daar al hikmah. Dan pada
masa itu juga muncul penerjemah – penerjemah yang cerdas dan teliti.
Munculnya para penerjemah tersebut terjadilah cultural shock yang
mengakibatkan terjadinya kemabukan intelektual yang artinya adanya
penemuan baru yang di lakukan oleh akal dan merambah pada semua ruang
termasuk ruang agama. Disinilah mula trend rasionalisasi terhadap
doktrin-doktrin agama.
Pada sisi lain yang sering juga terjadi adalah debat-debat teologis
antara umat islam dengan pemeluk agama lain yang ingin menghancurkan
cultur agama islam.Perlu di ketahui bahwa lawan debat umat islam waktu
itu mempunyai cultur intelektual yang tinggi serta menolak kebenaran
islam.
Berangkat dari latar belakang yang telah terdeskripsikan di atas maka
lahirlah keberagamaan baru, yang berbeda dari respon keberagamaan
tuntunan Nabi.Corak keberagamaan baru ini lebih mengedepankan
rasio.Corak keberagamaan baru ini juga mempengaruhi umat islam dalam
merespon keberadaan Tuhan, sehingga lahirlah tipe pemahaman baru. Tipe
pemahaman baru atas eksistensi dan sifat-sifat Tuhan dengan pendekatan
filosofis-spekulatif inilah yang akan melahirkan penghayatan
eksistensial filosofis.
Jadi sesungguhnya tipe pemahaman eksistensial filosofis ini terlahir
karena keniscayaan sejarah yakni sebagai konsekuensi logis atas
pertemuannya dengan tradisi,budaya dan pola pikir yunani.Akan tetapi
juga karena sebuah keharusan sejarah,yakni ketika umat islam di hadapkan
pada tantangan dan kebutuhan upaya pembuktian kebenaran agama islam di
hadapan para pihak-pihak lain yang menolak islam.
B. Penghayatan eksistensial filosofis sifat-sifat Tuhan
Penghayatan eksistensial – filosofis atas Allah lahir sebagai implikasi
logis dari sebuah pemahaman terhadap doktrin-doktrin agama agama,
khususnya doktrin-doktrin ketuhanan yang memakai pendekatan filosofis,
rasionalistik, dan spekulatif , sebagai anak kandung dari hasil
pertemuan antara tradisi islam dengan tradisi yunani seperti yang telah
terdeskripsikan di atas.
Pendekatan filosofis artinya objek bahasan yang di kaji secara
analistis, kritis, sistematis dan mendalam atas dasar logika atau akal,
sehingga bersifat rasionalistik. Sedangkan spekulatif itu yang objek
bahasanya memang belum terdapat pendasaran kepastiannya dalam sumber
agama, dalam hal ini berarti dari Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Adapun yang mula-mula mencangkokkan corak yunani dalam arus kesadaran
ide keTuhanan islam dan seputar permasalahan, menurut Nurcholis Majid
adalah Jahm Ibn Shofwan.Yang dia mendapatkan bahan tersebut dari
Aristotelisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles.
Paham ini mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa
dengan kekuatan alam,yang hanya dapat mengenal keadaan – keadaan umum
atau universal tanpa mengetahui atau partikular. Maka hal ini berarti
Tuhan tidak mungkin memberi pahala, dosa, dan segala sesuatu yang
terjadi termasuk pada manusia. Baginya Tuhan itu seperti perjalanan
hukum alam. Hukum alam yang impersonal yang pasti adanya dan tak
terlawan oleh manusia.
Mengikuti pendapat tersebut, maka Jahm Ibn Shofwan dan para pengikutnya,
sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Allah, seperti Allah
Maha Kasih, Maha Tinggi, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat
tersebut akan membuat Allah menjadi tidak Esa lagi. Dan kelompok ini di
sebut dengan Mu’attilah (Nurcholis Majid, 2000: 207 )
Setelah periode ini pendekatan-pendekatan yang sama lebih banyak di
lakukan oleh mereka yang berpaham mu’tazilah. Secara lebih sistematis,
mereka berhasil mempolakan kerangka idenya dalam lima poin, yaitu:
tentang keEsaan Tuhan, upaya menjawab isu antromophisme; tentang
keadilan Tuhan, ketika menghadapi perbuatan manusia, tentang Tuhan wajib
menciptakan yang baik dan yang lebih baik demi kemaslahatan umat
manusia, tentang posisi tengah, yang mana muncul dari isu muslim yang
berdosa, dan tentang kewajiban untuk ber Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
sebagai upaya menciptakan tatanan masyarakat yang ideal. (Harum
Nasution, 1986 :44–47 ).
Yang terpenting pada bahasan ini adalah bahwa penghayatan eksistensial
filosofis atas sifat–sifat Allah yakni mempoisisikan keberadaan Allah
sebagai objek bahasan yang dikaji secara mendalam, yakni bagaimana Dia
atau seperti apa Dia. Pemahaman atas sifat dan perbuatan Allah dapat
tercermin dari situasi sebagai berikut, seperti bagaimana wujud Allah,
seperti apakah Kalam Allah dan sebagainya.
Menurut Wolfson, materi sifat dan perbuatan Allah masa itu, pada
dasarnya terbagi menjadi tiga sudut pandang, yakni sudut pandang
Ontologis, sudut pandang semantic, dan sudut pandang logika. (Wplfson,
1976:206 )
Sudut panldang Ontologis, menghadapkan problema ini pada pertanyaan –
pertanyaan tentang sifat dan perbuatan Allah yang ada dalam Al- Qur’an ,
misalnya Allah Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, yang ini
berimplikasi pada kehidupan (hayah ), al ‘ilm, al Qudrah, yang mana
Allah sebagai keberadaan yang tak terpisah dari dzat-Nya.
Sedangkan sudut pandang semantik telah mengembangkan diskusi – diskusi
pemahaman tentang Allah setelah umat beriman lebih mencermati term–term
dalam Al–Qur’an yang melukiskan Allah dalam keserupaan dengan
makhlukNya.
Selanjutnya sudut pandang logika merupakan, hal yang tercermin saat
seringnya umat Islam menggunakan proposisi–proposisi logis, dengan upaya
merasionalisasikan doktrin–doktrin agama dan keTuhanan.
Yang akhirnya pada penghayatan eksistensial filosofis sifat–sifat Tuhan
ini memperoleh pengertian yang bersifat kognitif tentang-Nya. Dan dari
paparan di atas, dapat dikatakan bahwa manusia memiliki dua bentuk
pengenalan terhadap Tuhan, yakni:
1. Pengenalan hudhuri, yang mana pengenalan ini bersumber langsung
dari pertalian sebab akibat antara wajib al wujud dan mumkin al wujud.
2. Pengenalan hushuli, yakni pengenalan yang terwujud lewat akal
pikiran dan pemahaman teoritis manusia. pengenalan semacam ini tidak
berhubugan dengan dzat Tuhan. Akan tetapi, hanya berkaitan dengan
sifat–sifat dan perbuatan Tuhan.
C. Bukti Tentang Eksistensi Allah
Al-Qur’an tidak mungkin secara langsung berusaha membuktikan eksistensi
Allah SWT karena memandang gagasan tentang eksistensi-Nya sebagai
terbukti dengan sendirinya (self evident) sehingga tidak membutuhkan
argumentasi, atau karena hal itu tidak menghadapi bahaya yang serius.
Namun, adalah mungkin untuk menemukan bukti-bukti tentang pokok
persoalan tersebut dalam pernyataan-pernyataan Al-Qur’an. Bahkan,
mungkin Al-Qur’an sendiri secara tidak langsung menaruh kepedulian
terhadap mereka. Misalnya, bukanlah hal yang bertentangan jika sebuah
ayat mungkin secara langsung dan tidak langsung bertujuan membuktikan
keesaan Allah SWT. Atau sebuah ayat, dengan cara menentang orang yang
tidak percaya pada kenabian Nabi Muhammad SAW dan menolaknya, mungkin
menunjuk pada pokok persoalan yang secara tidak langsung membuktikan
eksistensi Allah SWT.
Kesimpulan tersebut di dasarkan pada kenyataan bahwa “sesuatu” dalam
ayat yang mulia diatas adalah “pencipta” maksudnya apakah orang-orang
kafir itu diciptakan tanpa adanya sesuatu yang menjadi pencipta mereka,
atau apakah mereka menciptakan diri mereka sendiri? Tentu saja, tidak
satupun dari dua gagasan ini yang benar dan jawaban terhadap dua
pertanyaan tersebut adalah negatif. Dengan demikian, mereka harus
percaya bahwa ada Tuhan yang menciptakan. Namun, terdapat dua
kemungkinan lain sehubungan dengan pengertian “sesuatu” tersebut.
Pertama, ia berarti “materi sebelumnya”, yaitu apakah mereka di ciptakan
tanpa adanya sesuatu yang mendahului. Kedua, ia berarti “sebuah tujuan”
yaitu apakah mereka di ciptakan tanpa adanya tujuan?
Bukti yang menunjukkan adanya gerakan di alam ini membuktikan eksistensi
penggerak alam tersebut, dan buktikan yang menunjukkan susunan alam
membuktikan eksistensi Allah SWT sebagai pengatur susunan tersebut,
serta bukti-bukti lainnya membuktikan eksistensi-Nya sebagai sang
pencipta, pembuatan yang di perlukan yang maha sempurna, yang mutlak,
kemudian bukti-bukti tentang monoteisme membuktikan bahwa semua sebutan
total tersebut membuktikan hanya terdapat sesuatu yang tunggal bahwa
Allah Maha Esa.
D. Keterbatasan Penghayatan Eksistensial Filosofis Atas Allah
Pemahaman eksistensial filosofis atas keberadaan Allah yang telah
mengendap dalam kesadaran manusia menjadi bentuk penghayatan
eksistensial filosofis atas keberadaan Allah, pada awal tumbuh dan
berkembangnya seiring dengan maraknya tradisi yunani di dunia islam,
yang ternyata memang mampu menjawab tantangan akibat rasionalisasi atas
permasalahan-permasalahan agama pada masa itu.
Pengkajian ilmu kalam dan penghayatan eksistensial filosofis atas Allah
sebagai hasil dari hal tersebut, dengan materi sedemikian rupa ternyata
masih berlanjut hingga kini. Sedangkan problem yang sedang di hadapi
umat masa sekarang sudah bergeser, yakni bukan lagi terkait dengan
rasionalisasi doktrin-doktrin agama, akan tetapi lebih kepada
penyimpangan-penyimpangan keberagamaan umat islam, boboroknya moral
kemanusiaan dan sikap-sikap sosial. Sehingga apabila nanti, ilmu yang
lahir sebagai respon terhadap kondisi yang ada sudah tidak
berkesinambungan lagi dengan tantangan yang di hadapi maka bangunan ilmu
itu akan kehilangan relevansinya yang berarti paradigma nya atau bahkan
di ubah.
Yang terpenting pada hal ini adalah mengenai kelemahan dan keterbatasan
pada penghayatan eksistensial filosofis sifat-sifat Allah yaitu ketidak
mampuannya memberikan solusi atas problema-problema keberagamaan yang
di hadapi oleh umat islam, termasuk di dalamnya juga ketidakmampuannya
membangun keberagamaan umat secara maksimal. Hal yang demikian di
sebabkan ilmu kalam mengenai penghayatan eksistensial filosofis atas
Allah sangat bersifat teosentris. Dan untuk mencapai sifat teosentris
yang di inginkan itu merupakan hal yang sia-sia, dan tidak akan bisa di
capai. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan dan potensi dari pola
pikir umat manusia
Dan perspektif di atas sesuai dengan perintah Nabi Muhammad SAW yang
menyuruh umatnya agar berfikir tentang ciptaan Allah bukan mengenai
esensi-Nya.
IV. KESIMPULAN
1. Munculnya penghayatan eksistensial filosofis sifat–sifat Allah,
berawal dari kontak pertama umat Islam dengan Yunani mengenai
doktrin–doktrin ketuhanan.
2. Fokus bahasan bahwa penghayatan eksistensial filosofis atas Allah,
yang lahir dari pemahaman eksistensial filososofis atas-Nya,
memposisikan keberadaan Allah sebagai objek bahasan yang dikaji secara
mendalam, mengenai dagaimana dan seperti apakah Allah itu.
3. Bukti tidak langsung tentang eksistensi Allah dalam hal ini adalah
menunjukkan adanya gerakan dalam alam ini. Dan hal ini membuktikan
eksistensi penggerak alam tersebut yang mana ini bukti eksistensi Allah
sebagai pengatur alam semesta dengan segala kesempurnaan-Nya.
4. Keterbatasan penghayatan eksistensial filosofis atas Allah yakni,
terbatasnya kemampuan dan potensi pola pikir umat yang tidak bisa
mencapai sifat teosentris yang di inginkan.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan kami sampaikan. Kami
yakin dalam penulisan dan penyampaiannya masih terdapat banyak kesalahan
serta kekurangan, untuk itu, kami mohon maaf yang sebesar–besarnya.
Dan saran yang dapat membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaikan kami selanjutnya. Dan semoga makalah ini bermanfa’at bagi
pembaca semua.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Syekh Muhammad abduh, risalah tauhid,(Jakarta : “Bulan Bintang” ,1989 )
Sayid Syabiq, akidah islam, (Surabaya : Al ikhlas, 1996 )
http://www.sifat-sifat Tuhan.com
Moh. Dzofir,dkk, ilmu tauhid amali, (Kudus : percetakan STAIN Kudus, 2004)
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, filsafat tauhid, (Bandung : arasy, 199