Pages

Friday, March 15, 2013

makalah ilmu kalam

PENGHAYATAN EKSISTENSI FILOSOFIS SIFAT TUHAN


MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Zaenal Arifin, M.Ag





Disusun Oleh :

1. Faqih Hilal Mukarrom (212100)



SEKOLAH TINGGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH / EI
2012/2013



I. PENDAHULUAN
Allah yang mewujudkan alam semesta mempunyai sifat-sifat yang baik dan luhur. sifat-sifat ini merupakan bagian dari petunjuk kesempurnaan Rububiyah dan Uluhiyah.Sifat-sifat itu hanya Allah yang memiliki.Tak satupun yang dapat menyekutui-Nya. Allah maha esa dan sebagai penguasa dan Tuhan.Oleh karena itu,tak ada penguasa Tuhan kecuali Dia (Allah).
Akidah islam telah menjelaskan kepada kita dalam Al-Qur’an tentang sifat-sifat Allah yang mutlak melekat pada-Nya,karena kesempurnaan Nya,yaitu seperti sifat-sifat sebagai berikut:al-ilm,al-hayah,al-bashar,al-kalam,dan sebagainya.sifat-sifat Allah itu sendiri terlalu Agung untuk di hitung,yang pada hakikatnya berada di atas jangkauan akal manusia.
Meskipun Al-Qur’an telah menjelaskan kepada kita sebagian dari sifat-sifat Allah,namun Al-Quran tidak menjelaskan seluruh sifat-sifat-Nya.Sebagaimana Al-Qur’an adalah kalam-kalam Allah,tetapi ia tidak mencakup seluruh kalimatnya.Yang jelas,Allah memiliki sifat-sifat yang berkaitan dengan sesuatu selain berbagai alam dan makhluk-Nya,dan kita tidak mungkin bisa mengetahui semuanya.Bertolak dari sini,kita hanya berbicara tentang sesuatu yang mungkin kita fahami sebatas kemampuan akal kita.
Dengan demikian, Al-Qur’an telah menyebutkan sifat-sifat Allah yang paling penting yang harus diketahui oleh setiap muslim.

II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah latar belakang munculnya penghayatan eksistensial filosofis sifat Tuhan?
2. Bagaimanakah hakikat penghayatan eksistensial filosofis sifat Tuhan?
3. Bukti tentang eksistensi Allah?
4. Mengenai keterbatasan penghayatan eksistensial filosofis sifat Tuhan?


III.PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Munculnya Penghayatan Eksistensial Filosofis Sifat Tuhan
Sebagian besar argumen filosofis telah di gunakan menetapkan wujud yang di kenal sebagai wajibul wujud.Dengan adanya argumen-argumen tersebut, kita mengenal Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya yang khas yang menbedakan dzat-Nya dari makhluk-makhluk-Nya.Dan jika sekadar menetapkan bahwa Tuhan itu wajibul wujud,tanpa memandang sifat-sifat-Nya,maka tidaklah memadai bagi kita untuk mengenal dia (Tuhan) sebagaimana mestinya.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pertama kali Nabi Muhammad di utus Allah adalah untuk menanamkan keyakinan atas keberadaan Allah.Karakter penanaman yang di tuntunkan Nabi bukan lah berbentuk renungan dan bersifat konseptual tidak pula bersifat doktriner dan normatif melainkan lebih bersifat tuntunan praktis,yaitu merespon keberadaan Allah agar berpengaruh positif terhadap pembentukan nilai sikap dan pembangunan perilaku. Yang terbukti pada perjalanan sejarah Nabi yang mampu mengentaskan problema masyarakat arab dari ke jahiliyahan menuju suatu tutunan masyarakat yang bertauhid,religius islami dan lebih humanis.
Kemudian sepeninggal Nabi lama kelamaan model hidup yang di tanamkan Nabi mulai terkikis, padahal kita tahu bahwa problema yang di hadapi umat islam terus berkembang. Terlebih-lebih semakin bertambahnya kuantitas pemeluk islam yang baru yang berasal dari berbagai wilayah dengan membawa latar belakang sosial budaya yang beraneka ragam.
Meluasnya jaringan islam dan banyaknya umat islam, terutama dari Mesir,Irak,Syiria dan daerah-daerah Timur lainnya menjadi momentum terbukanya kontak arab dengan tradisi dan pola pikir filosofis-rasionalistik-spekulaktif yunani.
Dari kontak pertama islam dengan tradisi yunani pada akhirnya membawa pada komunikasi yang lebih mendalam antar kedua nya dan puncaknya pada masa al-Makmun, salah satu khalifah terkemuka abbasiyah di era 813-83, yang mendirikan sebuah institusi yang bernama Daar al hikmah. Dan pada masa itu juga muncul penerjemah – penerjemah yang cerdas dan teliti.
Munculnya para penerjemah tersebut terjadilah cultural shock yang mengakibatkan terjadinya kemabukan intelektual yang artinya adanya penemuan baru yang di lakukan oleh akal dan merambah pada semua ruang termasuk ruang agama. Disinilah mula trend rasionalisasi terhadap doktrin-doktrin agama.
Pada sisi lain yang sering juga terjadi adalah debat-debat teologis antara umat islam dengan pemeluk agama lain yang ingin menghancurkan cultur agama islam.Perlu di ketahui bahwa lawan debat umat islam waktu itu mempunyai cultur intelektual yang tinggi serta menolak kebenaran islam.
Berangkat dari latar belakang yang telah terdeskripsikan di atas maka lahirlah keberagamaan baru, yang berbeda dari respon keberagamaan tuntunan Nabi.Corak keberagamaan baru ini lebih mengedepankan rasio.Corak keberagamaan baru ini juga mempengaruhi umat islam dalam merespon keberadaan Tuhan, sehingga lahirlah tipe pemahaman baru. Tipe pemahaman baru atas eksistensi dan sifat-sifat Tuhan dengan pendekatan filosofis-spekulatif inilah yang akan melahirkan penghayatan eksistensial filosofis.
Jadi sesungguhnya tipe pemahaman eksistensial filosofis ini terlahir karena keniscayaan sejarah yakni sebagai konsekuensi logis atas pertemuannya dengan tradisi,budaya dan pola pikir yunani.Akan tetapi juga karena sebuah keharusan sejarah,yakni ketika umat islam di hadapkan pada tantangan dan kebutuhan upaya pembuktian kebenaran agama islam di hadapan para pihak-pihak lain yang menolak islam.
B. Penghayatan eksistensial filosofis sifat-sifat Tuhan
Penghayatan eksistensial – filosofis atas Allah lahir sebagai implikasi logis dari sebuah pemahaman terhadap doktrin-doktrin agama agama, khususnya doktrin-doktrin ketuhanan yang memakai pendekatan filosofis, rasionalistik, dan spekulatif , sebagai anak kandung dari hasil pertemuan antara tradisi islam dengan tradisi yunani seperti yang telah terdeskripsikan di atas.
Pendekatan filosofis artinya objek bahasan yang di kaji secara analistis, kritis, sistematis dan mendalam atas dasar logika atau akal, sehingga bersifat rasionalistik. Sedangkan spekulatif itu yang objek bahasanya memang belum terdapat pendasaran kepastiannya dalam sumber agama, dalam hal ini berarti dari Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Adapun yang mula-mula mencangkokkan corak yunani dalam arus kesadaran ide keTuhanan islam dan seputar permasalahan, menurut Nurcholis Majid adalah Jahm Ibn Shofwan.Yang dia mendapatkan bahan tersebut dari Aristotelisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles.
Paham ini mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam,yang hanya dapat mengenal keadaan – keadaan umum atau universal tanpa mengetahui atau partikular. Maka hal ini berarti Tuhan tidak mungkin memberi pahala, dosa, dan segala sesuatu yang terjadi termasuk pada manusia. Baginya Tuhan itu seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam yang impersonal yang pasti adanya dan tak terlawan oleh manusia.
Mengikuti pendapat tersebut, maka Jahm Ibn Shofwan dan para pengikutnya, sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Allah, seperti Allah Maha Kasih, Maha Tinggi, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat tersebut akan membuat Allah menjadi tidak Esa lagi. Dan kelompok ini di sebut dengan Mu’attilah (Nurcholis Majid, 2000: 207 )
Setelah periode ini pendekatan-pendekatan yang sama lebih banyak di lakukan oleh mereka yang berpaham mu’tazilah. Secara lebih sistematis, mereka berhasil mempolakan kerangka idenya dalam lima poin, yaitu: tentang keEsaan Tuhan, upaya menjawab isu antromophisme; tentang keadilan Tuhan, ketika menghadapi perbuatan manusia, tentang Tuhan wajib menciptakan yang baik dan yang lebih baik demi kemaslahatan umat manusia, tentang posisi tengah, yang mana muncul dari isu muslim yang berdosa, dan tentang kewajiban untuk ber Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar sebagai upaya menciptakan tatanan masyarakat yang ideal. (Harum Nasution, 1986 :44–47 ).
Yang terpenting pada bahasan ini adalah bahwa penghayatan eksistensial filosofis atas sifat–sifat Allah yakni mempoisisikan keberadaan Allah sebagai objek bahasan yang dikaji secara mendalam, yakni bagaimana Dia atau seperti apa Dia. Pemahaman atas sifat dan perbuatan Allah dapat tercermin dari situasi sebagai berikut, seperti bagaimana wujud Allah, seperti apakah Kalam Allah dan sebagainya.
Menurut Wolfson, materi sifat dan perbuatan Allah masa itu, pada dasarnya terbagi menjadi tiga sudut pandang, yakni sudut pandang Ontologis, sudut pandang semantic, dan sudut pandang logika. (Wplfson, 1976:206 )
Sudut panldang Ontologis, menghadapkan problema ini pada pertanyaan – pertanyaan tentang sifat dan perbuatan Allah yang ada dalam Al- Qur’an , misalnya Allah Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, yang ini berimplikasi pada kehidupan (hayah ), al ‘ilm, al Qudrah, yang mana Allah sebagai keberadaan yang tak terpisah dari dzat-Nya.
Sedangkan sudut pandang semantik telah mengembangkan diskusi – diskusi pemahaman tentang Allah setelah umat beriman lebih mencermati term–term dalam Al–Qur’an yang melukiskan Allah dalam keserupaan dengan makhlukNya.
Selanjutnya sudut pandang logika merupakan, hal yang tercermin saat seringnya umat Islam menggunakan proposisi–proposisi logis, dengan upaya merasionalisasikan doktrin–doktrin agama dan keTuhanan.
Yang akhirnya pada penghayatan eksistensial filosofis sifat–sifat Tuhan ini memperoleh pengertian yang bersifat kognitif tentang-Nya. Dan dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa manusia memiliki dua bentuk pengenalan terhadap Tuhan, yakni:
1. Pengenalan hudhuri, yang mana pengenalan ini bersumber langsung dari pertalian sebab akibat antara wajib al wujud dan mumkin al wujud.
2. Pengenalan hushuli, yakni pengenalan yang terwujud lewat akal pikiran dan pemahaman teoritis manusia. pengenalan semacam ini tidak berhubugan dengan dzat Tuhan. Akan tetapi, hanya berkaitan dengan sifat–sifat dan perbuatan Tuhan.
C. Bukti Tentang Eksistensi Allah
Al-Qur’an tidak mungkin secara langsung berusaha membuktikan eksistensi Allah SWT karena memandang gagasan tentang eksistensi-Nya sebagai terbukti dengan sendirinya (self evident) sehingga tidak membutuhkan argumentasi, atau karena hal itu tidak menghadapi bahaya yang serius.
Namun, adalah mungkin untuk menemukan bukti-bukti tentang pokok persoalan tersebut dalam pernyataan-pernyataan Al-Qur’an. Bahkan, mungkin Al-Qur’an sendiri secara tidak langsung menaruh kepedulian terhadap mereka. Misalnya, bukanlah hal yang bertentangan jika sebuah ayat mungkin secara langsung dan tidak langsung bertujuan membuktikan keesaan Allah SWT. Atau sebuah ayat, dengan cara menentang orang yang tidak percaya pada kenabian Nabi Muhammad SAW dan menolaknya, mungkin menunjuk pada pokok persoalan yang secara tidak langsung membuktikan eksistensi Allah SWT.
Kesimpulan tersebut di dasarkan pada kenyataan bahwa “sesuatu” dalam ayat yang mulia diatas adalah “pencipta” maksudnya apakah orang-orang kafir itu diciptakan tanpa adanya sesuatu yang menjadi pencipta mereka, atau apakah mereka menciptakan diri mereka sendiri? Tentu saja, tidak satupun dari dua gagasan ini yang benar dan jawaban terhadap dua pertanyaan tersebut adalah negatif. Dengan demikian, mereka harus percaya bahwa ada Tuhan yang menciptakan. Namun, terdapat dua kemungkinan lain sehubungan dengan pengertian “sesuatu” tersebut. Pertama, ia berarti “materi sebelumnya”, yaitu apakah mereka di ciptakan tanpa adanya sesuatu yang mendahului. Kedua, ia berarti “sebuah tujuan” yaitu apakah mereka di ciptakan tanpa adanya tujuan?
Bukti yang menunjukkan adanya gerakan di alam ini membuktikan eksistensi penggerak alam tersebut, dan buktikan yang menunjukkan susunan alam membuktikan eksistensi Allah SWT sebagai pengatur susunan tersebut, serta bukti-bukti lainnya membuktikan eksistensi-Nya sebagai sang pencipta, pembuatan yang di perlukan yang maha sempurna, yang mutlak, kemudian bukti-bukti tentang monoteisme membuktikan bahwa semua sebutan total tersebut membuktikan hanya terdapat sesuatu yang tunggal bahwa Allah Maha Esa.
D. Keterbatasan Penghayatan Eksistensial Filosofis Atas Allah
Pemahaman eksistensial filosofis atas keberadaan Allah yang telah mengendap dalam kesadaran manusia menjadi bentuk penghayatan eksistensial filosofis atas keberadaan Allah, pada awal tumbuh dan berkembangnya seiring dengan maraknya tradisi yunani di dunia islam, yang ternyata memang mampu menjawab tantangan akibat rasionalisasi atas permasalahan-permasalahan agama pada masa itu.
Pengkajian ilmu kalam dan penghayatan eksistensial filosofis atas Allah sebagai hasil dari hal tersebut, dengan materi sedemikian rupa ternyata masih berlanjut hingga kini. Sedangkan problem yang sedang di hadapi umat masa sekarang sudah bergeser, yakni bukan lagi terkait dengan rasionalisasi doktrin-doktrin agama, akan tetapi lebih kepada penyimpangan-penyimpangan keberagamaan umat islam, boboroknya moral kemanusiaan dan sikap-sikap sosial. Sehingga apabila nanti, ilmu yang lahir sebagai respon terhadap kondisi yang ada sudah tidak berkesinambungan lagi dengan tantangan yang di hadapi maka bangunan ilmu itu akan kehilangan relevansinya yang berarti paradigma nya atau bahkan di ubah.
Yang terpenting pada hal ini adalah mengenai kelemahan dan keterbatasan pada penghayatan eksistensial filosofis sifat-sifat Allah yaitu ketidak mampuannya memberikan solusi atas problema-problema keberagamaan yang di hadapi oleh umat islam, termasuk di dalamnya juga ketidakmampuannya membangun keberagamaan umat secara maksimal. Hal yang demikian di sebabkan ilmu kalam mengenai penghayatan eksistensial filosofis atas Allah sangat bersifat teosentris. Dan untuk mencapai sifat teosentris yang di inginkan itu merupakan hal yang sia-sia, dan tidak akan bisa di capai. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan dan potensi dari pola pikir umat manusia
Dan perspektif di atas sesuai dengan perintah Nabi Muhammad SAW yang menyuruh umatnya agar berfikir tentang ciptaan Allah bukan mengenai esensi-Nya.
IV. KESIMPULAN
1. Munculnya penghayatan eksistensial filosofis sifat–sifat Allah, berawal dari kontak pertama umat Islam dengan Yunani mengenai doktrin–doktrin ketuhanan.
2. Fokus bahasan bahwa penghayatan eksistensial filosofis atas Allah, yang lahir dari pemahaman eksistensial filososofis atas-Nya, memposisikan keberadaan Allah sebagai objek bahasan yang dikaji secara mendalam, mengenai dagaimana dan seperti apakah Allah itu.
3. Bukti tidak langsung tentang eksistensi Allah dalam hal ini adalah menunjukkan adanya gerakan dalam alam ini. Dan hal ini membuktikan eksistensi penggerak alam tersebut yang mana ini bukti eksistensi Allah sebagai pengatur alam semesta dengan segala kesempurnaan-Nya.
4. Keterbatasan penghayatan eksistensial filosofis atas Allah yakni, terbatasnya kemampuan dan potensi pola pikir umat yang tidak bisa mencapai sifat teosentris yang di inginkan.

V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan dan kami sampaikan. Kami yakin dalam penulisan dan penyampaiannya masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan, untuk itu, kami mohon maaf yang sebesar–besarnya. Dan saran yang dapat membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan kami selanjutnya. Dan semoga makalah ini bermanfa’at bagi pembaca semua.

VI. DAFTAR PUSTAKA
Syekh Muhammad abduh, risalah tauhid,(Jakarta : “Bulan Bintang” ,1989 )
Sayid Syabiq, akidah islam, (Surabaya : Al ikhlas, 1996 )
http://www.sifat-sifat Tuhan.com
Moh. Dzofir,dkk, ilmu tauhid amali, (Kudus : percetakan STAIN Kudus, 2004)
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, filsafat tauhid, (Bandung : arasy, 199

0 comments:

Post a Comment

Highlight 1

Internet

  • Replace This Text BERIKAN DONASI DUKUNG KBG.
  • JASA PEMBUATAN WEBSITE - BLOG PROFFESIONAL.
  • PROMO PASANG IKLAN MURAH.
  • DOMAIN PROMO HARGA MURAH BANGET.
  • FREE DOWNLOAD SOFTWARE TERBARU FULL CRACK.
  • MACAM - MACAM TIPS DAN TRIK TERBARU.
Powered by Blogger.

Lalat beterbangan di layar monitor

Pemerintahan & Pendidikan

 

seputar selebriti

About